Prof.
Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal
dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17
Februari 1908 – meninggal
di Jakarta, 24 Juli 1981 pada
umur 73 tahun)[1]
adalah sastrawan Indonesia,
sekaligus ulama,
ahli filsafat, dan aktivis politik.[2]
Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun
2011 pada tanggal 9 November 2011.[3]
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis
dan menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.[4]
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang
Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya
dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau seseorang yang
dihormati.
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Sementara ibunya adalah
Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku
Tanjung, sebagaimana suku ibunya.[5]
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Kehidupan
Hamka merupakan cucu dari Tuanku Kisai,[6]
mendapat pendidikan rendah pada usia 7 tahun di Sekolah Dasar Maninjau
selama dua tahun. Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka kemudian
mempelajari agama
dan mendalami bahasa Arab, salah satu pelajaran yang paling
disukainya.[7]
Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang
gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka
diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik
buku agama maupun sastra.
Museum Rumah Kelahiran Buya
Hamka, bangunannya merupakan rumah tempat
Hamka dilahirkan
Hamka mulai meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Pulau Jawa, sekaligus ingin mengunjungi kakak
iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang
tinggal di Pekalongan, Jawa
Tengah. Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan dengan Marah Intan,
seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak
langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu, ia tinggal bersama adik
ayahnya, Ja’far Amrullah di kelurahan Ngampilan, Yogyakarta. Barulah pada tahun 1925, ia
berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan bersama iparnya,
Ahmad Rasyid Sutan Mansur.[7]
Pada tahun 1927,
Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sekembalinya dari Mekkah, dalam suatu rapat adat niniak mamak nagari Sungai Batang, kabupaten Agam, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan
Hamka dengan gelar Datuk Indomo, yang
merupakan gelar pusaka turun temurun dalam suku
Tanjung. Pada tahun 1950, Hamka kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah
haji yang kedua kalinya.
Pada tanggal 5 April 1929, Hamka dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah
Sutan, yang merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya.
Dari perkawinannya dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang anak.
Mereka antara lain Hisyam, Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah,
Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya meninggal dunia,
satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia menikah lagi
dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah. Menjelang akhir
hayatnya ia mengangkat Jusuf Hamka, seorang muallaf, peranakan Tionghoa-Indonesia sebagai anak.[8]
[sunting] Karier
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun 1927.
Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah
di Padang Panjang dan mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun
1928. Pada
tahun 1931,
ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah.
Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi,
Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada
tahun 1932
ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar,
Sulawesi Selatan.[9]
Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang
mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan
sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat
sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi
peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar
Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad
Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga
mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali
sebulan. Majalah tersebut diberi nama "al-Mahdi".[10]
Pada tahun 1934,
Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian
berangkat ke Medan. Di Medan—bersama M. Yunan Nasution—ia
mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya'kub, dan Mohammad Rasami (mantan
sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan
Pedoman Masyarakat.[7]
Pada majalah ini untuk pertama kali ia memperkenalkan nama
pena Hamka,[11]
melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati
para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk
senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat.
Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat
yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum
intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa Anshary.
Pada tahun 1945
Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia
dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan
kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di
antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi
Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi
Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Pada tahun 1949, Hamka
memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia
jurnalistik dengan menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian
Merdeka. Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua
kalinya, Hamka melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana,
ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah.
Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di
antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil,
dan Di Tepi Sungai Dajlah. Ia kemudian mengarang karya
otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada tahun 1951,[12]
dan pada tahun 1952
ia mengunjungi Amerika Serikat atas undangan pemerintah
setempat.[13]
[sunting] Politik
Hamka juga aktif di kancah politik melalui Masyumi.[10]
Pada Pemilu 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante
mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak
karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan kakak
iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur,
akhirnya Hamka menerima untuk diangkat menjadi anggota konstituante.
Sikapnya yang konsisten terhadap agama, menyebabkannya acapkali
berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap beberapa
kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan
oleh Soekarno
dari tahun 1964
sampai 1966.
Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi,
kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir
dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di
dalam penjara
ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya
ilmiah terbesarnya.[14]
Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang
pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi
penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan
mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat
Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya
tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan
pendiriannya.[15]
Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka
memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama
Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh
pemerintah Indonesia.[1]
[sunting] Sastrawan
Hamka juga merupakan seorang wartawan,
penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi
wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan
Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia
menjadi editor
majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia
menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga
pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan
Gema Islam.[16]
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam
maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat
menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki
Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain
Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis,
Inggris
dan Jerman
seperti Albert Camus, William
James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl
Marx, dan Pierre Loti.
Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain
seperti novel
dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka
menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah.
Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman,
sejarah, biografi dan otobiografi,
sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi,
tasawuf, tafsir,
dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir
al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah,
dan Merantau
ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra
di Malaysia
dan Singapura.
Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat
nasional maupun internasional.[16]
Pada tahun 1959,
Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo[5]
atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa
Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut
dari Universitas Nasional Malaysia
pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor
dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.[16]
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam
usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.[16]
Jasanya tidak hanya diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan
di negara kelahirannya, bahkan di negara negara berpenduduk muslim di
Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura,
Thailand Selatan, Brunei, Filipina Selatan, dan beberapa negara Arab.
[sunting] Daftar karya
- Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya), Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
- Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
- Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
- Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
- Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
- Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
- Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
- Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
- Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
- Majalah Semangat Islam, 1943.
- Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.
- Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
- Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
- Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
- Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
- Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
- Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
- Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
- Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
- Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
- Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
- Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
- Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
- Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
- Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
- K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
- Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.
- Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
- Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
- Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).
- 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
- Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.
- Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
- Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
- Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
- Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
- Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
- Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
- Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
- Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.
- Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970.
- Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.
- Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
- Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
- Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
- Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
- Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
- Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
- Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
- Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
- Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
- Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
- Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
- Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
- Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
- Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu, 1983.
- Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
- Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
- Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
- Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
- Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
- Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
- Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
- Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
- Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
- Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
- Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
- Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
- Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
- Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
- Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
- Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
- Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
- Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
- Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
- Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
- Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
- Di Bawah Lindungan Ka'bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
- Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
- Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
- Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
- Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.
- Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
- Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
- Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
- Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
- Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
- Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- Margaretta Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Sumber: Wikipedia
0 komentar:
Posting Komentar